“Kak, kakak sudah tamat kuliah ya?” Atau “Kak, kakak kuliah jurusan apa sih?” Pertanyaan seperti itu kerap dilontarkan setiap pengunjung perpustakaan yang memang kebanyakan anak-anak remaja, mulai dari SMP, SMA, hingga kuliah. Saat saya mengatakan jurusan ilmu perpustakaan , mereka lantas mengerutkan dahi, “ Itu yang dipelajari apa aja sih, Kak?” Saya tersenyum mendengarnya karena pertanyaan seperti itu sudah keseribuduaratusduapululuhdua kali ditanyakan. Setelah saya menjelaskan sedikit tentang sistem klasifikasi DDC, baru mereka akan ber oohh..oohh, “Sulit juga ya kak?” Saya sesungguhnya baru menjelaskan seujung kuku tentang ilmu perpustakaan yang saya tahu, karena ilmu perpustakaan bukanlah sekedar tahu menyusun buku saja, tapi mencakup manajemen, sistem informasi, strategi pengembangan koleksi, pemasaran, juga masalah klasifikasi dan indexing yang menjadi dasar utama seorang librarian.
![]() |
Meja baca untuk pengunjung perpustakaan |
Saya merasa tidak ada yang aneh dengan sebuah
profesi, apapun bentuknya, asalkan
dilakukan dengan cinta. Bekerja menjadi tidak seperti bekerja. Saya mencintai profesi ini seperti halnya
saya mencintai buku sejak saya kecil. Saya merasa bahagia jika melihat tumpukan buku di rak dan setiap
saya ke toko buku, saya suka mencium aroma khas toko buku itu dan menghirupnya
perlahan, membuat saya relaks. Teman saya suka menertawakan kebiasaan aneh ini,
saya cuma bisa ikut tertawa. Saya senang
berinteraksi dengan para pengunjung yang datang, saya senang jika mereka bisa
mendapatkan buku yang mereka cari, saya senang menjelaskan prosedur pendaftaran
anggota, menghadapi berbagai keluhan, kritik, dan saran untuk perpustakaan,
hingga mengumumkan pemenang bagi member yang paling aktif membaca di
perpustakaan saya. Sebagian orang memandang sebelah mata dengan profesi saya
ini, namun hal itu sudah menjadi hal yang
lumrah mengingat dunia perpustakaan di Indonesia tidaklah sepesat di Negara
Eropa ataupun Amerika. Profesi tertentu dianggap sebuah prestise bagi
seseorang. Seolah-olah sebuah profesi menjadi penentu tingkat status sosial
yang menaikkan gengsi seseorang di mata masyarakat. Namun bagi saya ketenangan
batin dalam bekerja adalah hal yang utama, tidak sekedar gaji besar dan pangkat
tinggi. Ketenangan dan kenyamanan lingkungan dalam bekerja adalah sesuatu yang
berharga dan tidak bisa dibayar dengan uang.
![]() |
Children's Corner : Pojokan kecil tempat anak-anak membaca dan belajar |
Saya ingat cerita seorang kakak angkat saya yang
sudah saya anggap mentor dalam hal agama, bahkan rela melepas profesinya di
sebuah institusi pemerintahan yang bergengsi karena ia merasa tidak sesuai
dengan kata hatinya. Mungkin banyak orang yang menganggap ia bodoh, karena
melepas karir yang cemerlang di usia yang relatif muda, tapi saya beranggapan
dia telah berbuat hal yang benar.
Mungkin ia setuju dengan pendapat Rene Suhardono bahwa pekerjaan
bukanlah karir. Ia merasa
pekerjaannya tidak membuat ia bahagia dan ia memilih untuk melepaskan. Saya percaya
ia melakukannya dengan penuh pertimbangan. Butuh waktu lima tahun baginya
untuk memutuskan hal besar tersebut.
Saya salut padanya , disaat orang
tergiur dengan harta, jabatan,
dan status sosial betapapun tekanan yang dihadapi , ia memilih untuk
berkarir di tempat lain yang dianggapnya
sesuai passion : mengajar. Seorang
kakak berhati lembut dan lapang, ia
harus merelakan untuk membayar ganti
rugi yang tidak sedikit atas keputusannya meninggalkan pekerjaan lamanya
tersebut.
![]() |
Tumpukan buku-buku yang baru masuk di meja kerja saya |
Terlepas dari semua itu, apapun profesi itu sama
baiknya, asalkan halal dan tidak merugikan orang lain. Semua profesi akan baik
adanya jika kita sepenuh hati memberikan kontribusi positif dalam menjalaninya.
Semua profesi patut dihargai. Saya bertemu dengan berbagai profesi di pekerjaan
saya, seorang dokter muda yang sangat concern
belajar TOEFL agar bisa melanjutkan studi di bidang spesialis jantung di sebuah
universitas ternama di Jakarta, seorang yang berprofesi sebagai konsultan IT
yang bercita-cita sebagai entrepreneur
muda, seorang yang berprofesi sebagai
guru, banker, dosen, pendeta, bahkan seorang yang berprofesi sebagai ibu rumah
tangga pun, jika ia jalani dengan sepenuh hati, tentu akan memberikan
perkembangan yang baik bagi anak-anak dan keluarganya. Menurut Arvan
Pradiansyah, seorang coach dalam
karier, tingkat tertinggi dari pencapaian karier seseorang bukanlah uang atau
jabatan , tapi happiness atau
kebahagiaan. Sudahkah kita mencapai tingkatan tersebut? Sudahkah kita bekerja
dengan hati? Jika belum, cobalah tanya kembali hati kita, listen to your heart and find your passion.
No comments:
Post a Comment