Friday, June 17, 2016

Bekerja dengan Hati : Catatan Kecil Seorang Librarian


“Kak, kakak sudah tamat kuliah ya?” Atau “Kak, kakak kuliah jurusan apa sih?” Pertanyaan seperti itu kerap dilontarkan setiap pengunjung perpustakaan yang memang kebanyakan anak-anak remaja, mulai dari SMP, SMA, hingga kuliah. Saat saya mengatakan jurusan ilmu perpustakaan , mereka lantas mengerutkan dahi, “ Itu yang dipelajari apa aja sih, Kak?” Saya tersenyum mendengarnya karena pertanyaan seperti itu sudah keseribuduaratusduapululuhdua kali ditanyakan. Setelah saya menjelaskan sedikit tentang sistem klasifikasi DDC, baru mereka akan ber oohh..oohh, “Sulit juga ya kak?” Saya sesungguhnya baru menjelaskan seujung kuku tentang ilmu perpustakaan yang saya tahu, karena ilmu perpustakaan  bukanlah sekedar tahu menyusun buku saja, tapi mencakup manajemen, sistem informasi, strategi pengembangan koleksi, pemasaran, juga masalah klasifikasi dan indexing  yang menjadi dasar utama seorang librarian.

Meja baca untuk pengunjung perpustakaan

Saya merasa tidak ada yang aneh dengan sebuah profesi, apapun bentuknya, asalkan  dilakukan dengan cinta. Bekerja menjadi tidak seperti bekerja.  Saya mencintai profesi ini seperti halnya saya mencintai buku sejak saya kecil. Saya merasa bahagia  jika melihat tumpukan buku di rak dan setiap saya ke toko buku, saya suka mencium aroma khas toko buku itu dan menghirupnya perlahan, membuat saya relaks. Teman saya suka menertawakan kebiasaan aneh ini, saya cuma bisa ikut tertawa.  Saya senang berinteraksi dengan para pengunjung yang datang, saya senang jika mereka bisa mendapatkan buku yang mereka cari, saya senang menjelaskan prosedur pendaftaran anggota, menghadapi berbagai keluhan, kritik, dan saran untuk perpustakaan, hingga mengumumkan pemenang bagi member yang paling aktif membaca di perpustakaan saya. Sebagian orang memandang sebelah mata dengan profesi saya ini, namun hal itu sudah menjadi hal yang lumrah mengingat dunia perpustakaan di Indonesia tidaklah sepesat di Negara Eropa ataupun Amerika. Profesi tertentu dianggap sebuah prestise bagi seseorang. Seolah-olah sebuah profesi menjadi penentu tingkat status sosial yang menaikkan gengsi seseorang di mata masyarakat. Namun bagi saya ketenangan batin dalam bekerja adalah hal yang utama, tidak sekedar gaji besar dan pangkat tinggi. Ketenangan dan kenyamanan lingkungan dalam bekerja adalah sesuatu yang berharga dan tidak bisa dibayar dengan uang.

Children's Corner : Pojokan kecil tempat anak-anak membaca dan belajar

Saya ingat cerita seorang kakak angkat saya yang sudah saya anggap mentor dalam hal agama, bahkan rela melepas profesinya di sebuah institusi pemerintahan yang bergengsi karena ia merasa tidak sesuai dengan kata hatinya. Mungkin banyak orang yang menganggap ia bodoh, karena melepas karir yang cemerlang di usia yang relatif muda, tapi saya beranggapan dia telah berbuat hal yang benar.  Mungkin ia setuju dengan pendapat Rene Suhardono bahwa pekerjaan bukanlah karir. Ia merasa  pekerjaannya tidak membuat ia bahagia  dan ia memilih untuk melepaskan. Saya percaya ia melakukannya dengan penuh pertimbangan. Butuh waktu lima tahun baginya untuk  memutuskan hal besar tersebut. Saya salut padanya , disaat orang  tergiur dengan harta,  jabatan, dan status sosial betapapun tekanan yang dihadapi , ia memilih untuk berkarir  di tempat lain yang dianggapnya sesuai passion : mengajar. Seorang kakak berhati lembut  dan lapang, ia harus merelakan  untuk membayar ganti rugi yang tidak sedikit atas keputusannya meninggalkan pekerjaan lamanya tersebut.

Tumpukan buku-buku yang baru masuk di meja kerja saya

Terlepas dari semua itu, apapun profesi itu sama baiknya, asalkan halal dan tidak merugikan orang lain. Semua profesi akan baik adanya jika kita sepenuh hati memberikan kontribusi positif dalam menjalaninya. Semua profesi patut dihargai. Saya bertemu dengan berbagai profesi di pekerjaan saya, seorang dokter muda yang sangat concern belajar TOEFL agar bisa melanjutkan studi di bidang spesialis jantung di sebuah universitas ternama di Jakarta, seorang yang berprofesi sebagai konsultan IT yang bercita-cita  sebagai entrepreneur muda, seorang yang berprofesi  sebagai guru, banker, dosen, pendeta, bahkan seorang yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga pun, jika ia jalani dengan sepenuh hati, tentu akan memberikan perkembangan yang baik bagi anak-anak dan keluarganya. Menurut Arvan Pradiansyah, seorang coach dalam karier, tingkat tertinggi dari pencapaian karier seseorang bukanlah uang atau jabatan , tapi happiness atau kebahagiaan. Sudahkah kita mencapai tingkatan tersebut? Sudahkah kita bekerja dengan hati? Jika belum, cobalah tanya kembali hati kita, listen to your heart and find your passion.

No comments:

Post a Comment